Simaklah tips-tips ketika
melakukan perjalanan jauh berikut ini dan semoga bermanfaat.
Tips
Persiapan Sebelum Mudik
Seseorang
yang hendak mudik atau melakukan safar (perjalanan jauh) seharusnya bukan hanya
mempersiapkan barang-barang dan bekal untuk perjalanan. Ada persiapan yang lebih
penting dari itu semua, sehingga safar tersebut lebih dimudahkan dan diberkahi
oleh Allah. Di antara persiapan yang bisa dilakukan adalah:
Pertama,
melakukan shalat istikharah terlebih dahulu untuk memohon petunjuk kepada Allah
mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengajarkan kepada kami shalat istikhoroh dalam setiap perkara sebagaimana
beliau mengajarkan kepada kami Al Qur’an.” [1]
Kedua, jika
sudah bulat melakukan perjalanan, maka perbanyaklah taubat yaitu meminta ampunan
pada Allah dari segala macam maksiat, mintalah maaf kepada orang lain atas
tindak kezholiman yang pernah dilakukan, dan minta dihalalkan jika ada muamalah
yang salah dengan sahabat atau lainnya.
Ketiga,
menyelesaikan berbagai persengketaan, seperti menunaikan utang pada orang lain
yang belum terlunasi sesuai kemampuan, menunjuk siapa yang bisa menjadi wakil
tatkala ada utang yang belum bisa dilunasi, mengembalikan barang-barang titipan,
mencatat wasiat, dan memberikan nafkah yang wajib bagi anggota keluarga yang
ditinggalkan.
Keempat,
meminta restu dan ridho orang tua atau keluarga, tempat berbakti dan berbuat
baik.[2]
Kelima,
melakukan safar atau perjalanan bersama tiga orang atau lebih. Sebagaimana
hadits,
الرَّاكِبُ
شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ
“Satu
pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir) adalah dua
syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut rombongan
musafir.” [3]
Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang,
musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.[4] Namun larangan di sini
bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah
adab.[5]
Keenam,
mengangkat pemimpin dalam rombongan safar yang mempunyai akhlaq yang baik,
akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik dalam
perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar
adalah,
إِذَا
كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika
ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah di
antaranya sebagai ketua rombongan.”
[6]
Ketujuh,
dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dari
Ka’ab bin Malik, beliau berkata,
أَنَّ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ
، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan
telah menjadi kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.”
[7]
Dianjurkan
pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang
penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada
waktu pagi,
اللَّهُمَّ
بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya
Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”[8]
Ibnu
Baththol mengatakan, “Adapun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut
daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah waktu yang biasa digunakan
manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat
(fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah
di dalamnya.”[9]
Juga
waktu terbaik untuk melakukan safar
adalah di waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal
malam. Ada pula yang mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits.
Jadi dapat kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di
malam hari[10]. Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika itu
jarak bumi seolah-olah didekatkan. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah
kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat
ketika itu.”[11]
Kedelapan,
melakukan shalat dua raka’at ketika hendak pergi[12]. Sebagaimana terdapat
hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
إذا خرجت
من منزلك فصل ركعتين يمنعانك من مخرج السوء وإذا دخلت إلى منزلك فصل ركعتين يمنعانك
من مدخل السوء
“Jika
engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini
akan menghalangimu dari kejelekan yang ada di luar rumah. Jika engkau memasuki
rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari
kejelekan yang masuk ke dalam rumah.”[13]
Kesembilan,
berpamitan kepada keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan. Do’a yang biasa
diucapkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada
orang yang hendak bersafar adalah,
أَسْتَوْدِعُ
اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
“Astawdi’ullaha
diinaka, wa amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu,
amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”[14].
Kemudian
hendaklah musafir atau yang bepergian mengatakan kepada orang yang
ditinggalkan,
أَسْتَوْدِعُكُمُ
اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
“Astawdi’ukumullah
alladzi laa tadhi’u wa daa-i’ahu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak
mungkin menyia-nyiakan titipannya).”[15]
Kesepuluh, ketika
keluar rumah dianjurkan membaca do’a:
بِسْمِ
اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ
بِاللَّهِ
“Bismillahi
tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah.” (Dengan
nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali
dengan-Nya)[16].
Atau
bisa pula dengan do’a:
اللَّهُمَّ
إنِّي أَعُوذ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ
أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عليَّ
“Allahumma
inni a’udzu bika an adhilla aw udholla, aw azilla aw uzalla, aw azhlima aw
uzhlama, aw ajhala aw yujhala ‘alayya.” [Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang
lain, dari ketergelinciran diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzholimi
diriku atau dizholimi orang lain, dari kebodohan diriku atau dijahilin orang
lain] [17].
-bersambung
insya Allah-
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR.
Bukhari no. 6382, 7390
[2] Adab
pertama sampai keempat dijelaskan dalam Al
Ghuror As Saafir fiima Yahtaaju ilaihil Musaafir, hal.
15-16, Al Imam Az Zarkasiy, Asy Syamilah.
[3] HR.
Malik, Abu Daud, At Tirmidzi, Al Hakim, Al Baihaqi dan Ahmad. Ibnu Hajar
mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam
Fathul Bari, 8/468.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam
As
Silsilah Ash Shohihah no.
62.
[4]
Lihat Fathul
Bari,
8/468, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah dan penjelasan Syaikh Al Albani dalam
As
Silsilah Ash Shohihah no.
62.
[5]
Lihat perkataan Ath Thobari yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam
Fathul
Bari,
8/468
[6] HR.
Abu Daud no. 2609. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih.
[7] HR.
Bukhari no. 2950.
[8] HR.
Abu Daud no. 2606 dan At Tirmidzi no. 1212. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi). Lihat
Shahih
At Targhib wa At Tarhib no.
1693.
[9]
Syarhul
Bukhari Libni Baththol, 9/163,
Asy Syamilah
[10]
Lihat ‘Aunul
Ma’bud, 7/171,
Muhammad Syamsul Haq Abu Ath Thoyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan
kedua, 1415 H.
[11] HR.
Abu Daud, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat As
Silsilah Ash Shahihah no.
681.
[12]
Lihat pembahasan di Jaami
Shohih Al Adzkar, hal.
153, Abul Hasan Muhammad bin Hasan Asy Syaikh, Darul ‘Awashim, cetakan kedua,
Januari 2006.
[13] HR.
Al Bazzar. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
As
Silsilah Ash Shohihah no.
1323.
[14] HR.
Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat As
Silsilah Ash Shahihah no. 14
dan 15.
[15]
HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Shahih
Ibnu Majah
2295.
[16] HR.
Abu Daud dan Tirmidzi, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Lihat Shahih
At Targhib wa At Tarhib no.
1605.
[17] HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ummu Salamah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Lihat Shahih
At Targhib wa At Tarhib no.
2442.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar