sebenarnya
menutup aurat bagi wanita itu seperti apa, apakah harus bercadar atau
bagaimana?
Dalam hal menutup
aurat bagi seorang wanita muslimah,terhadap laki-laki asing hukumnya adalah
wajib berdasarkan Al-qur’an ,As-sunnah dan ijma’ para Ulama. Hanya yang terjadi
khilaf diantara mereka dalam hal wajibnya menutup wajah dan kedua telapak
tangan,setelah mereka sepakat bahwa yang demikian adalah perkara yang
disyari’atkan.
Dan yang lebih
mendekati kebenaran –wallahu a’lam- bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan
pun hal yang diwajibkan.
Diantara dalil
yang menguatkan pendapat ini adalah :
1)
firman-Nya:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di
ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maka telah
ditafsirkan oleh para Ulama,bahwa termasuk yang diulurkan adalah ke wajah-wajah
mereka.Diantara para Ulama yang menafsirkan demikian adalah Abidah
As-Salmani,dan yang lainnya dari kalangan mufassirin.Dan diriwayatkan dari Ibnu
Abbas .
2) Dan
Firman-Nya:
وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
31. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang- orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Telah ditafsirkan
oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa yang dimaksud “kecuali yang tampak darinya”
adalah pakaian luar.
Adapun dari
hadits ,diantaranya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha
berkata:
“Semoga Allah
merahmati wanita yang awal kali berhijrah,tatkala Allah menurunkan
firman-Nya:
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah
mereka mengulurkan khimar mereka ke dada-dada mereka”
(QS.An-Nuur:31)
Maka mereka pun
merobek kain-kainnya lalu berkhimar dengannya.”
(HR.Bukhari)
Berkata
Al-Hafidz: mereka berkhimar ,maknanya adalah mereka menutupi wajah-wajah
mereka.
(Fathul
bari:8/490).
Dan disana masih
banyak dalil berkenaan tentang hal ini.Dan tentunya menutup seluruh tubuh
termasuk wajah dan kedua telapak tangan lebih aman dari fitnah,lebih menenangkan
hati dalam beramal,sebab dengan mengamalkannya berarti kita keluar dari
perselisihan yang terjadi dikalangan para Ulama salaf. Adapun hadits-hadits yang
membolehkan membuka wajah ada yang shohih, namun tidak shorih (tidak jelas
menunjukkan maksud yang dikehendaki),ada pula yang shorih ,akan tetapi kedudukan
riwayatnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Wallahu
A’lam.
-- Al Ustadz Abu
Karimah Askary --
Tidak ada komentar:
Posting Komentar