Alhamdulillah
hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kamaa yuhibbu Robbuna wa yardho, wa
asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa asy-hadu anna Muhammadan
‘abduhu wa rosuluh. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
Saudaraku
yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala. Nabi kita Muhammad
shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
penutup para Nabi, tidak ada Nabi lagi sesudah beliau. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam
memiliki kedudukan yang mulia dengan syafa’at
al ‘uzhma pada
hari kiamat kelak. Itulah di antara keistimewaan Abul Qosim, Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Seorang muslim punya kewajiban mencintai beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih
dari makhluk lainnya. Inilah landasan pokok iman.
Engkau
Harus Mencintai Nabimu
Saudaraku,
itulah yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah Nabinya lebih dia
cintai dari makhluk lainnya. Mari kita simak bersama firman Allah
Ta’ala,
قُلْ
إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah:
‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik.” (Qs. At
Taubah: 24)
Ibnu
Katsir mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan
Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka
yang akan menimpa kalian.” (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim,
4/124)
Ancaman
keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasul dari makhluk lainnya adalah
wajib. Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan
pada nabinya.
‘Abdullah
bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan
beliau memegang tangan Umar bin Khaththab –radiyallahu
‘anhu-. Lalu
Umar –radhiyallahu
‘anhu-
berkata,
لأنت أحب
إلي من كل شيء إلا من نفسي
“Ya
Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap
diriku sendiri.”
Kemudian
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
berkata,
لا والذي
نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك
“Tidak,
demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus
lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Kemudian
‘Umar berkata,
فإنه
الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي
“Sekarang,
demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku
sendiri.”
Kemudian
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
berkata,
الآن يا
عمر
“Saat
ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR.
Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul
Iman wan Nudzur, 2 -
Bab Bagaimana Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam
bersumpah]
Al
Bukhari membawakan dalam kitabnya: Bab
Mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari
iman. An
Nawawi membawakan dalam Shahih
Muslim:
Bab-Wajibnya
Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan pada
keluarga, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya. Dalam
bab tersebut, Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Salah
seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada
anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Semua
Cinta Butuh Bukti
Cinta
bukanlah hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk
cinta pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
ittiba’ (mengikuti), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah,
ketaatan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
buah dari kecintaan.
Penyair
Arab mengatakan:
لَوْ
كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ
إِنَّ
المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ
Sekiranya
cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya
Karena
orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya
Cinta
pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bukanlah dengan melatunkan nasyid atau pun sya’ir yang indah, namun enggan
mengikuti sunnah beliau. Hakikat cinta
pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang
mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian
salaf mengatakan:
لهذا لما
كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ
Tatkala
banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan
bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.
Ali Imron: 31)
Seorang
ulama mengatakan:
لَيْسَ
الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ وَلَكِن الشَّأْنُ أَنْ تُحَبْ
Yang
terpenting bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana
engkau bisa dicintai-Nya.
Yang
terpenting bukanlah engkau mencintai Nabimu. Namun yang terpenting adalah
bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta nabimu. Begitu pula, yang terpenting
bukanlah engkau mencintai Allah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau
bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh
‘Aqidah Ath Thohawiyah,
20/2)
Allah
sendiri telah menjelaskan bahwa siapa pun yang mentaati Rasul-Nya berarti dia
telah mentaati-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ
عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisa’: 80)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada
ajarannya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits,
فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegangteguhlah
dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam
ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham
kalian.” (HR.
Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits
ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat
Shohih
At Targhib wa At Tarhib no.
37)
Salah
seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu
Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu
‘anhu
mengatakan,
لَسْتُ
تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ
بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ
أَنْ أَزِيْغَ
“Tidaklah
aku biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan
kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja,
aku akan menyimpang.” (HR.
Abu Daud no. 2970. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini
shohih)
Itulah
saudaraku di antara bukti seseorang mencintai nabinya –shallallahu
‘alaihi wa sallam- yaitu
dengan mentaati, mengikuti dan meneladani setiap ajarannya.
Kebalikan
Cinta
Dari
penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta
adalah mentaati dan ittiba’ pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Berarti kebalikan dari hal ini adalah enggan mentaatinya dan melakukan suatu
ibadah yang tidak ada ajarannya. Karena sebagaimana telah kami jelaskan di muka
bahwa setiap orang pasti akan mentaati dan mengikuti orang yang
dicintai.
Dari
sini berarti setiap orang yang melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan
dari Nabinya dan membuat-buat ajaran baru yang tidak ada asal usulnya dari
beliau, walaupun dengan berniat baik dan ikhlash karena Allah Ta’ala, maka
ungkapan cinta Nabi pada dirinya patut dipertanyakan. Karena ingatlah di samping
niat baik, seseorang harus mendasari setiap ibadah yang dia lakukan dengan
selalu mengikuti tuntunan Nabinya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Itulah
yang engkau harus pahami saudaraku, sebagaimana engkau akan mendapati hal ini
dalam perkataan Al Fudhail berikut.
Al
Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya
Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al
Mulk [67]: 2), beliau mengatakan, “Yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab
(sesuai tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al
Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki
ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, amalan
tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan
mengikuti ajaran beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam namun
tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul
Ulum wal Hikam, hal.
19)
Perkataan
Fudhail di atas memiliki dasar dari sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau
shallallahu
‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut
tertolak.” (HR.
Muslim no. 1718)
Itulah
saudaraku yang dikenal dengan istilah bid’ah. Amalan apa saja yang tidak
mengikuti tuntunan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam akan
tertolak, walaupun yang melakukan berniat baik atau ikhlash. Karena niat baik
semata tidaklah cukup, sampai amalan seseorang dibarengi dengan megikuti
tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Setelah
kita mengetahui muqodimah di atas, sekarang kita akan menelusuri lebih jauh,
apakah betul cinta Nabi harus dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau
dalam acara maulid Nabi sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin?
Silakan simak pembahasan berikut ini.
-bersambung
insya Allah-
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah:
Ustadz Aris MunandarArtikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar