Mengenal Syiah Rafidhah dan Pencetusnya
Selasa, 03 September 2013
Orang yang pertama kali mencetuskan agama Rafidhah adalah Abdullah bin Saba`, salah seorang Yahudi dari Yaman. Dia pura-pura masuk Islam, kemudian dia mendatangi Madinah Nabawiah pada zaman khalifah ar-rasyid Utsman bin Affan radhiallahu anhu.
Mereka dinamakan Rafidhah dikarenakan mereka ﺍْﻮُﻀَﻓَﺭ (menjauhi/menolak) Zaid bin Ali ketika mereka meminta Zaid untuk berlepas diri dari Abu Bakr dan Umar, akan tetapi beliau justru mendoakan rahmat untuk mereka berdua. Maka mereka berkata, “Kalau begitu kami akan menjauhi kamu.” Maka Zaid berkata, “Pergilah, karena kalian adalah orang-orang yang dijauhkan.” Dan ada yang berpendapat bahwa mereka dikatakan Rafidhah karena mereka menolak Abu Bakr dan Umar. (Lihat Siyar A’lam An- Nubala`: 5/390 dan Majmu’ Al-Fatawa Ibnu Taimiah: 4/435)
Syaikh Al-Islam juga berkata masih pada tempat yang sama, “Asal mazhab Rafidhah adalah dari kaum munafiq dan zindiq, karena mazhab ini dimunculkan oleh Abdullah bin Saba` sang zindiq. Dia menampakkan pengkultusan yang berlebihan terhadap Ali dengan klaim bahwa Ali adalah imam dan menyatakan ada nash dari Nabi akan hal itu.”
Ibnu Abi Al-Izz rahimahullah berkata dalam Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiah hal. 490, “Asal mazhab Rafidhah tidaklah dimunculkan kecuali oleh seorang munafiq lagi zindiq yang bertujuan untuk menghapuskan agama Islam dan mencela Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana yang para ulama sebutkan. Hal itu karena tatkala Abdullah bin Saba` sang Yahudi pura-pura masuk Islam, dia berniat dengannya untuk merusak agama Islam dengan makar dan kebusukannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Bulis terhadap agama Nashrani. Maka Abdullah bin Saba` pura-pura rajin beribadah, kemudian dia mengobarkan secara berlebihan semangat amar ma’ruf dan nahi mungkar, sampai akhirnya dia berusaha untuk memfitnah dan membunuh Utsman. Kemudian, tatkala dia mendatangi Kufah, dia menampakkan pengkultusan dan pembelaan yang berlebihan terhadap Ali, agar dia bisa berhasil meraih tujuannya. Hal itu kemudian sampai ke telinga Ali, maka beliau mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi dia melarikan diri ke daerah Qirqis. Dan kisah Abdullah bin Saba` ini masyhur dalam buku-buku sejarah.”
Imam Ath-Thabari dalam Tarikhnya (4/340) dan Ibnu Al-Atsir dalam Al-Kamil (3/77) menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba` adalah seorang Yahudi dari negeri Shan’a, Yaman. Bahkan Ath-Thabari menyebutkan kalau sahabat Abu Ad-Darda` juga menyatakan kalau dia adalah seorang Yahudi. Asy- Syahrastani berkata dalam Al-Milal wa An-Nihal (1/204), “As-Saba`iah adalah para pengikut Abdullah bin Saba`, orang yang berkata kepada Ali, “Anda, anda,” maksudnya: Anda adalah sembahan, maka Ali mengusir dan mengasingkannya. Para ulama menyatakan kalau dia dulunya adalah seorang Yahudi lalu dia masuk Islam. Dan dalam agama orang-orang Yahudi, ada orang-orang yang mengkultuskan Yusya’ bin Nun penerus wasiat Musa alaihimas salam, seperti pengkultusan terhadap Ali radhiallahu anhu. Abdullah bin Saba` inilah orang yang pertama kali memunculkan kabar adanya nash kekhalifahan untuk Ali radhiallahu anhu, dan darinyalah berasal kelompok-kelompok yang ekstrim dalam masalah ini. Abdullah bin Saba` menyatakan kalau Ali itu hidup dan tidak mati …,” dan seterusnya dari keyakinannya terhadap Ali.
Bersambung
KEWAJIBAN MENGIKUTI AS-SUNNAH DAN MENJAUHI BID’AH
Rabu, 21 Agustus 2013
Rasulullah صلي الله
عليه وسلم menyuruh kita mengikuti sunnah beliau dan
melarang kita mengadakan acara ritual baru (bid’ah). Karena agama Islam telah sempurna
dan cukup apa yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya, dan yang diterima sebagai tuntunan
As-Sunnah oleh Ahlussunnah wal- Jamaah, yaitu para sahabat dan tabi’in.
Di dalam hadits shahih Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
(( مَنْ أَحْدَثَ
فِيْ أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ))
“Barang siapa mengadakan suatu amalan baru
dalam Agama kami yang di luar syari’at kami. Maka amalan itu tertolak”1
Hadits ini disepakati keshahihannya oleh para
ulama Sunnah.
Dalam riwayat lain di shahih muslim
(( مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))
“Barang siapa melakukan suatu amalan yang
tidak sesuai dengan syari’at
kami. Maka amalnya itu tertolak”
Dalam hadits lain, beliau bersabda:
((عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ،
تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ))
Berpeganglah kamu sekalian dengan sunnahku dan
sunnah para Khulafa’
Rashidin setelahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia erat-erat
dengan gigi geraham. Jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena
setiap amalan yang diada-adakan itu bid’ah, sedang setiap bid’ah adalah sesat”2
Rasulullah صلي الله
عليه وسلم bersabda dalam khutbah Jum’at beliau:
(( أَمَّا بَعْدُ:
فَاِنَّ خَيْرَ الحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ صلي الله عليه
وسلم، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
))
“Selanjutnya, sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah kitab Allah. Sebaik-baik ajaran adalah ajaran Muhammad
صلي الله عليه وسلم
Seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru yang
diada-adakan. Dan setiap bid’ah adalah sesat” 3
Dalam hadits-hadits yang tertera diatas
terdapat peringatan keras mengadakan berbagai bid’ah dan penegasan bahwa bid’ah adalah sesat. Ini semua agar menjadi
peringatan bagi ummat Islam tentang besarnya bahaya bid’ah, sekaligus untuk mengajak mereka
menjauhi tindakan melakukan bid’ah.
Allah سبحانه و
تعالي berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa saja yang disampaikan Rasul kepada kamu
terimalah ia. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kamu,
tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyar: 7).
Allah berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan (dalam
hatinya) 4 atau ditimpa adzab yang pedih (QS.
An-Nuur: 63)
Allah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيراً
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri tauladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah
dan hari akhir, dan banyak mengingat Allah. (QS.
Al-Ahzab: 21).
Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ
عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah, Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS.
At-Taubah: 100).
jilbab
Selasa, 23 Juli 2013
sebenarnya
menutup aurat bagi wanita itu seperti apa, apakah harus bercadar atau
bagaimana?
Dalam hal menutup
aurat bagi seorang wanita muslimah,terhadap laki-laki asing hukumnya adalah
wajib berdasarkan Al-qur’an ,As-sunnah dan ijma’ para Ulama. Hanya yang terjadi
khilaf diantara mereka dalam hal wajibnya menutup wajah dan kedua telapak
tangan,setelah mereka sepakat bahwa yang demikian adalah perkara yang
disyari’atkan.
Dan yang lebih
mendekati kebenaran –wallahu a’lam- bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan
pun hal yang diwajibkan.
Diantara dalil
yang menguatkan pendapat ini adalah :
1)
firman-Nya:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di
ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maka telah
ditafsirkan oleh para Ulama,bahwa termasuk yang diulurkan adalah ke wajah-wajah
mereka.Diantara para Ulama yang menafsirkan demikian adalah Abidah
As-Salmani,dan yang lainnya dari kalangan mufassirin.Dan diriwayatkan dari Ibnu
Abbas .
2) Dan
Firman-Nya:
وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
31. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang- orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Telah ditafsirkan
oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa yang dimaksud “kecuali yang tampak darinya”
adalah pakaian luar.
Adapun dari
hadits ,diantaranya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha
berkata:
“Semoga Allah
merahmati wanita yang awal kali berhijrah,tatkala Allah menurunkan
firman-Nya:
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah
mereka mengulurkan khimar mereka ke dada-dada mereka”
(QS.An-Nuur:31)
Maka mereka pun
merobek kain-kainnya lalu berkhimar dengannya.”
(HR.Bukhari)
Berkata
Al-Hafidz: mereka berkhimar ,maknanya adalah mereka menutupi wajah-wajah
mereka.
(Fathul
bari:8/490).
Dan disana masih
banyak dalil berkenaan tentang hal ini.Dan tentunya menutup seluruh tubuh
termasuk wajah dan kedua telapak tangan lebih aman dari fitnah,lebih menenangkan
hati dalam beramal,sebab dengan mengamalkannya berarti kita keluar dari
perselisihan yang terjadi dikalangan para Ulama salaf. Adapun hadits-hadits yang
membolehkan membuka wajah ada yang shohih, namun tidak shorih (tidak jelas
menunjukkan maksud yang dikehendaki),ada pula yang shorih ,akan tetapi kedudukan
riwayatnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Wallahu
A’lam.
-- Al Ustadz Abu
Karimah Askary --
Muslimah dan Dakwah
Penulis: Syaikh
Abdul `Aziz bin Abdullah bin Bazz Rahimahullah Majmu` (Fatawa wa Maqaalat,
7/323-326)
Wanita sama
seperti pria dalam kewajiban berdakwah kepada Allah dan beramar ma`ruf nahi
mungkar.
Dalil-dalil dari
Al-qur`an dan Sunnah mencakup semuanya, kecuali yang dikecualikan oleh dalil.
Ucapan para ulama juga jelas dalam hal itu. Diantara dalil dari Al-qur`an
tentang hal itu:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
“Kaum mukminin
dan mukminat, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian lainnya. Mereka
menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (At-Taubah :
71)
كُنتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
“ Kalian adalah
sebaik-baik ummat yang dilahirkan bagi manusia. Kalian menyuruh kepada yang
ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar serta kalian beriman kepada Allah.” (Ali
Imron : 110)
Hendaknya wanita
itu berdakwah kepada Allah dengan adab-adab yang sesuai dengan syari`at yang
juga dituntut dari para pria. Wanita itu juga harus sabar dan mengharap pahala
dari Allah:
وَاصْبِرُواْ
إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“ Bersabarlah
kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal :
46)
Dan juga firman
Allah azza wajalla yang menceritakan ucapan Luqman kepada
anaknya:
“Wahai anakku,
dirikanlah sholat, suruhlah kepada yang ma`ruf, laranglah dari yang mungkar dan
bersabarlah engkau menghadapi apa yang menimpamu, karena itu adalah perkara yang
diwajibkan Allah.” (Luqman : 17)
Kemudian dia juga
hendaknya memperhatikan beberapa perkara, seperti: dia harus menjadi tauladan
dalam menjaga iffah (kehormatan), hijab dan amal sholih. Hendaknya dia menjahui
tabarruj dan ikhtilath (bercampur-baur antara pria dan wanita yang bukan
mukhrim) yang itu adalah terlarang hingga dia berdakwah dengan ucapan dan
perbuatan dalam meninggalkan apa yang diharamkan Allah atasnya. (Ini jawaban
atas soal: Apakah pendapat Anda antara wanita dan dakwah?)
Soal berikutnya:
Apakah perlu kita sediakan waktu untuk wanita agar dia berdakwah kepada
Allah?
Jawab: Saya tidak
dapati ada larangan dalam hal itu. Jika ditemui ada wanita sholihah yang bisa
berdakwah, maka selayaknya dia dibantu, diatur waktunya, diminta darinya untuk
membimbing para wanita sejenisnya, karena memang para wanita butuh kepada para
pembimbing wanita. Adanya wanita seperti ini di kalangan wanita lainnya kadang
lebih bermanfaat dalam menyampaikan dakwah untuk mengajak kepada jalan yang
benar daripada pria. Kadang wanita- wanita itu malu bertanya kepada da`i yang
pria, sehingga dia menyembunyikan apa yang seharusnya dia tanyakan. Kadang pula
dia terlarang untuk mendengarkan dakwah dari pria. Namun jika da`inya wanita,
dia tidak demikian. Karena dia bisa berdekatan dengannya dan menyampaikan apa
yang perlu baginya serta hal itu lebih besar pengaruhnya.
Maka wanita yang
memiliki ilmu hendaknya menjalankan kewajiban dakwah ini dan membimbing kepada
kebaikan semampunya berdasarkan firman Allah:
ادْعُ إِلِى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ
“Ajaklah mereka
kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik serta debatlah mereka
dengan cara yang paling baik.” (An-Nahl : 125)
قُلْ هَـذِهِ
سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ
اتَّبَعَنِي
“Katakanlah:
Inilah jalanku, aku berdakwah kepada Allah berdasarkan bashiroh (ilmu), aku dan
orang yang mengikutiku.” (Yusuf : 108)
“Dan siapakah
yang lebih baik ucapannya daripada orang yang berdakwah kepada Allah dan beramal
sholih dan dia mengatakan: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri (Islam).” (At-Taghabun:16)
Dan juga firman
Allah Subhanahuwata`ala:
“Maka bertaqwalah
kalian semampunya.” (Fushilat : 33)
Ayat-ayat yang
semakna dengan ini cukup banyak. Mencakup pria dan wanita dan hanya Allah lah
yang memberikan taufiq.
_________________________________________________
Dikutip dari
Buletin Islamiy “Al-Minhaj”, Edisi kedua Tahun I, hal. 16.
Diterbitkan oleh
Maktabah Adz Dzahabi Group, Kota Medan,
Di Balik Kelembutan Suaramu
Penulis: Al
Ustadzah Ummu Ishak Al Atsariyyah & Al Ustadzah Ummu Affan Nafisah bintu
Abi
Banyak wanita di
jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan
tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak
rupiah
Ukhti
Muslimah….
Suara empuk dan
tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik
secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu
berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah
suara yang indah dan merdu.
Begitu mudahnya
wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa
takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah
memperingatkan:
“Maka janganlah
kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang
yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al
Ahzab: 32)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda :
“Wanita itu
adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat
indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi,
dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam
Ash Shahihul Musnad, 2/36).
Suara merupakan
bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang
disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh
Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al
Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434)
Para wanita
diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah.
Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum
lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita
diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika
mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh
memperdengarkan suaranya dengan ber-tashbih sebagaimana laki- laki, tapi cukup
menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam:
“Ucapan tashbih
itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”. (HR. Al Bukhari no. 1203
dan Muslim no. 422)
Demikian pula
dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya
lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang
keras.
Ketika terpaksa
harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang
melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dalam surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya,
tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula.
Al Imam Ibnu
Katsir rahimahullah u berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab:
32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan
suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 3/491).
Maksud penyakit
dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang
bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau
ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang
semisalnya.
Suara wanita di
radio
dan
telepon
Asy Syaikh
Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang
wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya
kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara
dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?”
Asy Syaikh
menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan
ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia
berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak
diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam:
“Jangan
sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang
wanita.”
Ikhtilath yang
seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang
bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar
dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib
dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah.
Adapun mendengar
suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak
dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan
adalah berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus
berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah
yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa
mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal
ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-
lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang
demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya
bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi
laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya
seketika ia menyadarinya.
Sedangkan
mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat
wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak
bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara
laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal
mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah Al Muslimah, 1/433-434).
Syaikh ‘Abdullah
bin ‘Abdirrahman Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini:
“Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia
yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat
telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi
kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling
berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan
terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua
belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali
pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah,
1/435)
Laki-laki
berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya
Kenyataan yang
ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita,
keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa
yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling
mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat
telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena
menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi
kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan
untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi
sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan
ini?
Asy Syaikh Shalih
bin Fauzan Al Fauzan menjawab:” Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat
telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang
pinangannya (khitbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling
memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun
bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan
lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara
pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum
ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram,
mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala telah berfirman:
“Maka janganlah
kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang
yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.”
(Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ?
(Disusun dan
dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh
Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman
Al Jibrin
oleh Ummu Ishaq
Al Atsariyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim).
Sumber :
www.asysyariah.com
Hijab dan Batasan Mahram
Hijab dan Batasan
Mahram
Islam datang
adalah untuk memuliakan wanita. Jika kita ingat pada zaman jahiliah wanita
tidak dihargai, tidak dihormati. Setelah datangnya islam derajat wanita
diangkat. Islam tidak membedakan para wanita dan laki laki. Namun yang
membedakan manusia kepada robbnya yaitu ketakwaan mereka.
Maka dari itu,
untuk menjaga kehormatan wanita, islam memiliki ajaran yang menunjukan
bagaimana seorang wanita menjaga kehormatanya. Satu untuk menjaga kehormatan
wanita yaitu bisa kita lihat dari cara berpakaianya . Maka dari itu tulisan ini
akan membahas tentang cara berpakaian wanita yang sesuai dengan syar’I dengan
melaksanakan syariat islam yang penuh.
Wanita secara
khusus dituntut untuk menutupi auratnya ( seluruh tubuh ). Dari perintah ini
maka ada baiknya dibahas mengenai hijab terlebih dahulu. Hijab secara
pengertian adalah yang menghalangi seseorang untuk memandang ke tempat yang
lainya. Dengan kata lain bahwa hijab adalah pakaian pakaian yang dikenakan oleh
wanita wanita untuk menghalangi pandangan manusia.
Allah
Subhanaullahu ta’aala berfirman , “ Wahai Nabi, katakanlah kepada istri istrimu
dan kepada anak anakmu, dan kepada wanita wanita kaum mu’minin, hendaklah
mereka menurunkan atas mereka dari jilbab jilbab mereka.
Dari firman
Allah Subhanaullahu ta’aala diatas akan kita dapati bahwa perintah untuk
berhijab bukan hanya untuk istri istri nabi dan anak- anaknya. Namun ini
menunjukkan bahwa Allah Subhanaullahu
ta’aala menyatakan seluruh kaum mu’minin diwajibkan untuk mengulurkan jilbab
jilbab mereka .
Jilabab itu
sendiri adalah pakaian yang dikenakan oleh wanita yang menyelimuti tubuh. Dan jilbab ini merupakan pakaian yang
dikenakan sebagai pakaian luar. Jadi pada bagian dalam ada yang disebut khimar
( seperti mukena ). Lapisan yang kedua di bagian luar yang digunakan untuk
wanita itulah yang disebut dengan Al
jilbab. Pada surat di atas Allah Subhanaullahu ta’aala memerintahkan untuk
mengulurkan jilbab jilbab.
Dinyatakan oleh
Ummu Salamah radiaullahuta’aalanha bahwa ketika ayat Allah Subhanaullahu
ta’aala ini turun, wanita wanita ansar berlari masuk kedalam rumah rumah mereka
kemudian kain kain mereka mereka potong dan menutupi kepala dan wajah wajah
mereka. Seperti diatas kepala kepala mereka itu ada burung gagak. Dikarenakan
mereka berjalam dalan keadaan sakinah atau
dalam keadaan tenang Dan di atas mereka
(kepala mereka berupa kain) yang hitam
Ibnu abbas
mengatakan , Allah Subhanaullahu ta’aala memerintahkan kepada para wanita kaum
mu’minin, apabila mereka keluar dari rumah rumah mereka dalam satu hajat
tertentu. Hendaklah mereka menutup wajah wajah mereka dari atas kepala kepala
mereka dengan jilbab jilbab yang mereka gunakan dan mereka hanya menampakan
satu mata .
Sebagian ulama menyatankan yaitu mata kiri
yang digunakan sekedar untuk melihat jalan. Dan banyak para ulama menyatakan
bahwa seluruhnya pada wanita adalah aurat . Pendapat ini bisa kita lihat pada
wanita wanita di Saudi Arabia yang hamper seluruh dari mereka menutup wajah
wajah mereka , karena mereka itu adalah aurat mereka. Yang demikian ini
memudahkan mereka untuk di kenal sebagai wanita yang terhormat dan baik. Dan
Allah Subhanaullahu ta’aala maha pengampun bagi seseorang yang bertaubat dari
tidak menggunakan jilbab.
Bersambung.....
Tips Mudik Lebaran 2
Pada
artikel sebelumnya, kami telah sajikan beberapa hal yang berkaitan dengan tips
persiapan sebelum mudik. Pada saat ini, kita masuk pada pembahasan beberapa tips
ketika berada dalam perjalanan dan kembali dari safar. Semoga
bermanfaat.
Membaca
Do’a Ketika Naik Kendaraan
Ketika
menaikkan kaki di atas kendaraan hendaklah seorang musafir membaca, “Bismillah,
bismillah, bismillah”. Ketika
sudah berada di atas kendaraan, hendaknya mengucapkan, “Alhamdulillah”. Lalu
membaca,
سُبْحَانَ
الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى
رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ
“Subhanalladzi
sakh-khoro lana hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ilaa robbina
lamun-qolibuun.” (Maha
Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya
tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan
kami)[18].
Kemudian
mengucapkan, “Alhamdulillah,
alhamdulillah, alhamdulillah”. Lalu
mengucapkan, “Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah
itu membaca,
“Subhaanaka
inni qod zholamtu nafsii, faghfirlii fa-innahu laa yaghfirudz dzunuuba illa
anta.” (Maha
Suci Engkau, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku sendiri, maka ampunilah
aku karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau).[19]
Membaca
Do’a dan Dzikir Safar
Jika
sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan, hendaklah
mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.” Setelah itu
membaca,
سُبْحَانَ
الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى
رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا
الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا
سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى
السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ
وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ
وَالأَهْلِ
“Subhanalladzi
sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina
lamun-qolibuun[20]. Allahumma innaa nas’aluka fi safarinaa hadza al birro wat
taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza,
wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil
ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa
suu-il munqolabi fil maali wal ahli.”
(Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami
sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya
kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon
kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini.
Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh.
Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan,
tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan
keluarga)[21]
Dalam
perjalanan, hendaknya seorang musafir membaca dzikir “subhanallah” ketika
melewati jalan menurun dan “Allahu akbar” ketika melewati jalan mendaki. Dalam
Al Kalim Ath Thoyib dikatakan,
كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم و أصحابه إذا علوا الثنايا كبروا و إذا هبطوا
سبحوا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya biasa jika melewati jalan
mendaki, mereka bertakbir (mengucapkan “Allahu Akbar”). Sedangkan apabila
melewati jalan menurun, mereka bertasbih (mengucapkan
“Subhanallah”).”
[22]
Hendaklah
Memperbanyak Do’a Ketika Safar
Hendaklah
seorang musafir memperbanyak do’a ketika dalam perjalanan karena do’a seorang
musafir adalah salah satu do’a yang mustajab.
Dari Abu
Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
ثَلاَثُ
دَعَوَاتٍ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَالْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ
الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Tiga
do’a yang tidak diragukan lagi terkabulnya yaitu do’a seorang musafir, do’a
orang yang terzholimi, dan do’a orang tua kepada anaknya.”[23]
Membaca
Do’a Ketika Mampir di Suatu Tempat
Hendaklah
seorang musafir ketika mampir di suatu tempat membaca, “A’udzu
bi kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq (Aku berlindung dengan
kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan setiap makhluk).”
Tujuannya agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan gangguan.
Dari
Khowlah binti Hakim As Sulamiyah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ
نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ
مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ
ذَلِكَ
“Barangsiapa
yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan, “A’udzu bi
kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq (Aku berlindung dengan kalimat
Allah yang sempurna dari kejelekan setiap makhluk)”, maka tidak ada satu pun
yang akan membahayakannya sampai dia pergi dari tempat tersebut.”
[24]
Ketika
Kendaraan Tiba-tiba Mogok atau Rusak
Jika
kendaraan mogok, janganlah menjelek-jelekkan syaithan karena syaithan akan
semakin besar kepala. Namun ucapkanlah basmalah (bacaan “bismillah”)
Dari
Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu
tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah
syaithan”. Namun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
menyanggah ucapanku tadi,
لاَ
تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى
يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ
فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ
الذُّبَابِ
“Janganlah
engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian,
setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya
mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat
ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin
kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.”[25]
Musafir
Ketika Bertemu Waktu Sahur (Menjelang Shubuh)
Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika
bersafar dan bertemu dengan waktu sahur, beliau mengucapkan,
سَمَّعَ
سَامِعٌ بِحَمْدِ اللَّهِ وَحُسْنِ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا رَبَّنَا صَاحِبْنَا
وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذًا بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ
“Samma’a
saami’un bi hamdillahi wa husni balaa-ihi ‘alainaa. Robbanaa shohibnaa wa afdhil
‘alainaa aa’idzan billahi minan naar (Semoga ada yang memperdengarkan pujian
kami kepada Allah atas nikmat dan cobaan-Nya yang baik bagi kami. Wahai Rabb
kami, peliharalah kami dan berilah karunia kepada kami dengan berlindung kepada
Allah dari api neraka).”[26]
Tips
Kembali dari Safar
Pertama,
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga ketika ingin kembali dari safar.
Bahkan tidak disukai jika datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa
memberitahukan pada keluarga terlebih dahulu.
Dari
Jabir, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
نَهَى
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَطْرُقَ أَهْلَهُ لَيْلاً
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk pulang dari bepergian
lalu menemui keluarganya pada malam hari.”[27]
Dari
Anas bin Malik, beliau mengatakan,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ
يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak pulang dari bepergian lalu menemui
keluarganya pada malam hari. Beliau biasanya datang dari bepergian pada pagi
atau sore hari.”[28]
Kedua,
berdo’a ketika kembali dari safar.
Do’a
ketika kembali dari safar sama dengan do’a ketika hendak pergi safar yaitu
mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, kemudian
membaca,
سُبْحَانَ
الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى
رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا
الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا
سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى
السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ
وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ
وَالأَهْلِ
“Subhanalladzi
sakhkhoro lana hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina
lamunqolibuun[29]. Allahumma innaa nas’aluka fi safarinaa hadza al birro wat
taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza,
wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil
ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa
suu-il munqolabi fil maali wal ahli.”
(Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami
sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya
kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon
kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini.
Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh.
Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga.
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan,
tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan
keluarga)
Dan
ditambahkan membaca,
آيِبُونَ
تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
“Aayibuuna
taa-ibuuna ‘aabiduun. Lirobbinaa haamiduun (Kami kembali dengan bertaubat, tetap
beribadah dan selalu memuji Rabb kami).”
[30]
Ketiga,
melakukan shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar.
Dari
Ka’ab, beliau mengatakan,
أَنَّ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ
الْمَسْجِدَ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tiba dari safar pada waktu Dhuha, beliau
memasuki masjid kemudian beliau melaksanakan shalat dua raka’at sebelum beliau
duduk.”
[31]
Dari
Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam
safar. Tatkala kami tiba di Madinah, beliau mengatakan padaku,
ادْخُلِ
الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masukilah
masjid dan lakukanlah shalat dua raka’at.”[32]
-bersambung
insya Allah-
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
www.muslim.or.id
Footnote:
[18]
QS. Az Zukhruf: 13-14
[19]
HR. Ahmad, At Tirmidzi, dan Abu Daud, dari ‘Ali bin Abi Thalib. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih
At Tirmidzi no.
2742
[20]
QS. Az Zukhruf: 13-14
[21]
HR. Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[22]
Lihat Al
Kalim Ath Thoyyib no.
175. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[23]
HR. Ahmad no. 9604. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan
dilihat dari jalur lainnya. Lihat Musnad
Al Imam Ahmad bin Hambal,
Muassasah Qorthobah, Al Qohiroh.
[24]
HR. Muslim no. 2708
[25]
HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Al
Kalimu Ath Thoyib no.
238
[26]
HR. Muslim no. 2718
[27]
HR. Bukhari no. 1801
[28]
HR. Muslim no. 1928
[29]
QS. Az Zukhruf: 13-14
[30]
HR. Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[31]
HR. Bukhari no. 3088.
[32]
HR. Bukhari no. 3087
Tips Mudik Lebaran 1
Simaklah tips-tips ketika
melakukan perjalanan jauh berikut ini dan semoga bermanfaat.
Tips
Persiapan Sebelum Mudik
Seseorang
yang hendak mudik atau melakukan safar (perjalanan jauh) seharusnya bukan hanya
mempersiapkan barang-barang dan bekal untuk perjalanan. Ada persiapan yang lebih
penting dari itu semua, sehingga safar tersebut lebih dimudahkan dan diberkahi
oleh Allah. Di antara persiapan yang bisa dilakukan adalah:
Pertama,
melakukan shalat istikharah terlebih dahulu untuk memohon petunjuk kepada Allah
mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengajarkan kepada kami shalat istikhoroh dalam setiap perkara sebagaimana
beliau mengajarkan kepada kami Al Qur’an.” [1]
Kedua, jika
sudah bulat melakukan perjalanan, maka perbanyaklah taubat yaitu meminta ampunan
pada Allah dari segala macam maksiat, mintalah maaf kepada orang lain atas
tindak kezholiman yang pernah dilakukan, dan minta dihalalkan jika ada muamalah
yang salah dengan sahabat atau lainnya.
Ketiga,
menyelesaikan berbagai persengketaan, seperti menunaikan utang pada orang lain
yang belum terlunasi sesuai kemampuan, menunjuk siapa yang bisa menjadi wakil
tatkala ada utang yang belum bisa dilunasi, mengembalikan barang-barang titipan,
mencatat wasiat, dan memberikan nafkah yang wajib bagi anggota keluarga yang
ditinggalkan.
Keempat,
meminta restu dan ridho orang tua atau keluarga, tempat berbakti dan berbuat
baik.[2]
Kelima,
melakukan safar atau perjalanan bersama tiga orang atau lebih. Sebagaimana
hadits,
الرَّاكِبُ
شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ
“Satu
pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir) adalah dua
syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut rombongan
musafir.” [3]
Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga orang,
musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.[4] Namun larangan di sini
bukanlah haram (tetapi makruh) karena larangannya berlaku pada masalah
adab.[5]
Keenam,
mengangkat pemimpin dalam rombongan safar yang mempunyai akhlaq yang baik,
akrab, dan punya sifat tidak egois. Juga mencari teman-teman yang baik dalam
perjalanan. Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar
adalah,
إِذَا
كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika
ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah di
antaranya sebagai ketua rombongan.”
[6]
Ketujuh,
dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dari
Ka’ab bin Malik, beliau berkata,
أَنَّ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ
، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan
telah menjadi kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.”
[7]
Dianjurkan
pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang
penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada
waktu pagi,
اللَّهُمَّ
بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya
Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.”[8]
Ibnu
Baththol mengatakan, “Adapun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengkhususkan waktu pagi dengan mendo’akan keberkahan pada waktu tersebut
daripada waktu-waktu lainnya karena waktu pagi adalah waktu yang biasa digunakan
manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat
(fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
mengkhususkan do’a pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah
di dalamnya.”[9]
Juga
waktu terbaik untuk melakukan safar
adalah di waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal
malam. Ada pula yang mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits.
Jadi dapat kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di
malam hari[10]. Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika itu
jarak bumi seolah-olah didekatkan. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah
kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat
ketika itu.”[11]
Kedelapan,
melakukan shalat dua raka’at ketika hendak pergi[12]. Sebagaimana terdapat
hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda,
إذا خرجت
من منزلك فصل ركعتين يمنعانك من مخرج السوء وإذا دخلت إلى منزلك فصل ركعتين يمنعانك
من مدخل السوء
“Jika
engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini
akan menghalangimu dari kejelekan yang ada di luar rumah. Jika engkau memasuki
rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari
kejelekan yang masuk ke dalam rumah.”[13]
Kesembilan,
berpamitan kepada keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan. Do’a yang biasa
diucapkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada
orang yang hendak bersafar adalah,
أَسْتَوْدِعُ
اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
“Astawdi’ullaha
diinaka, wa amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu,
amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”[14].
Kemudian
hendaklah musafir atau yang bepergian mengatakan kepada orang yang
ditinggalkan,
أَسْتَوْدِعُكُمُ
اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
“Astawdi’ukumullah
alladzi laa tadhi’u wa daa-i’ahu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak
mungkin menyia-nyiakan titipannya).”[15]
Kesepuluh, ketika
keluar rumah dianjurkan membaca do’a:
بِسْمِ
اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ
بِاللَّهِ
“Bismillahi
tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah.” (Dengan
nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali
dengan-Nya)[16].
Atau
bisa pula dengan do’a:
اللَّهُمَّ
إنِّي أَعُوذ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ
أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عليَّ
“Allahumma
inni a’udzu bika an adhilla aw udholla, aw azilla aw uzalla, aw azhlima aw
uzhlama, aw ajhala aw yujhala ‘alayya.” [Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan diriku atau disesatkan orang
lain, dari ketergelinciran diriku atau digelincirkan orang lain, dari menzholimi
diriku atau dizholimi orang lain, dari kebodohan diriku atau dijahilin orang
lain] [17].
-bersambung
insya Allah-
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR.
Bukhari no. 6382, 7390
[2] Adab
pertama sampai keempat dijelaskan dalam Al
Ghuror As Saafir fiima Yahtaaju ilaihil Musaafir, hal.
15-16, Al Imam Az Zarkasiy, Asy Syamilah.
[3] HR.
Malik, Abu Daud, At Tirmidzi, Al Hakim, Al Baihaqi dan Ahmad. Ibnu Hajar
mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam
Fathul Bari, 8/468.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam
As
Silsilah Ash Shohihah no.
62.
[4]
Lihat Fathul
Bari,
8/468, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah dan penjelasan Syaikh Al Albani dalam
As
Silsilah Ash Shohihah no.
62.
[5]
Lihat perkataan Ath Thobari yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam
Fathul
Bari,
8/468
[6] HR.
Abu Daud no. 2609. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih.
[7] HR.
Bukhari no. 2950.
[8] HR.
Abu Daud no. 2606 dan At Tirmidzi no. 1212. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi). Lihat
Shahih
At Targhib wa At Tarhib no.
1693.
[9]
Syarhul
Bukhari Libni Baththol, 9/163,
Asy Syamilah
[10]
Lihat ‘Aunul
Ma’bud, 7/171,
Muhammad Syamsul Haq Abu Ath Thoyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan
kedua, 1415 H.
[11] HR.
Abu Daud, Al Hakim, dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat As
Silsilah Ash Shahihah no.
681.
[12]
Lihat pembahasan di Jaami
Shohih Al Adzkar, hal.
153, Abul Hasan Muhammad bin Hasan Asy Syaikh, Darul ‘Awashim, cetakan kedua,
Januari 2006.
[13] HR.
Al Bazzar. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
As
Silsilah Ash Shohihah no.
1323.
[14] HR.
Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat As
Silsilah Ash Shahihah no. 14
dan 15.
[15]
HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
Shahih
Ibnu Majah
2295.
[16] HR.
Abu Daud dan Tirmidzi, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Lihat Shahih
At Targhib wa At Tarhib no.
1605.
[17] HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Ummu Salamah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Lihat Shahih
At Targhib wa At Tarhib no.
2442.
Adab Berpakaian 2
Memilih
Pakaian Warna Putih
Warna
pakaian yang dianjurkan untuk laki-laki adalah warna putih. Tentang hal ini
terdapat hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda, “Kenakanlah
pakaian yang berwarna putih, karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian dan
jadikanlah kain berwarna putih sebagai kain kafan kalian.” (HR.
Ahmad, Abu Daud dll, shahih)
Dari
Samurah bin Jundab, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda, “Kenakanlah
pakaian berwarna putih karena itu lebih bersih dan lebih baik dan gunakanlah
sebagai kain kafan kalian.” (HR .
Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah, shahih)
Tentang
hadits di atas Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkomentar, “Benarlah apa
yang Nabi katakan karena pakaian yang berwarna putih lebih baik dari warna
selainnya dari dua aspek. Yang pertama warna putih lebih terang dan nampak
bercahaya. Sedangkan aspek yang kedua jika kain tersebut terkena sedikit kotoran
saja maka orang yang mengenakannya akan segera mencucinya. Sedangkan pakaian
yang berwarna selain putih maka boleh jadi menjadi sarang berbagai kotoran dan
orang yang memakainya tidak menyadarinya sehingga tidak segera mencucinya. Andai
jika sudah dicuci orang tersebut belum tahu secara pasti apakah kain tersebut
telah benar-benar bersih ataukah tidak. Dengan pertimbangan ini Nabi
memerintahkan kita, kaum laki-laki untuk memakai kain berwarna putih.
Kain
putih disini mencakup kemeja, sarung ataupun celana. Seluruhnya dianjurkan
berwarna putih karena itulah yang lebih utama. Meskipun mengenakan warna yang
lainnya juga tidak dilarang. Asalkan warna tersebut bukan warna khas pakaian
perempuan. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan. Demikian pula dengan syarat bukan
berwarna merah polos karena nabi melarang warna merah polos sebagai warna
pakaian laki-laki.Namun jika warana merah tersebut bercampur warna putih maka
tidaklah mengapa.” (Syarah
Riyadus Shalihin, 7/287,
Darul Wathon)
Pakaian
Berwarna Merah?
Dari
Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, Rasulullah pernah melihatku mengenakan pakaian
yang dicelup dengan ‘ushfur maka
Nabi menegurku dengan mengatakan, “Ini
adalah pakaian orang-orang kafir jangan dikenakan”. Dalam
lafazh yang lain, Nabi melihatku mengenakan kain yang dicelup dengan
‘usfur maka
Nabi bersabda, “Apakah
ibumu memerintahkanmu memakai ini?” Aku
berkata, “Apakah
kucuci saja?” Nabipun bersabda, “Bahkan
bakar saja.” (HR
Muslim)
Menurut
penjelasan Ibnu Hajar mayoritas kain yang dicelup dengan ‘ushfur itu
berwarna merah (Fathul
Bari,
10/318)
Dalam
hadits di atas Nabi mengatakan “Apakah
ibumu memerintahkanmu untuk memakai ini” hal ini
menunjukkan pakain berwarna merah adalah pakaian khas perempuan sehingga tidak
boleh dipakai laki-laki. Sedangkan maksud dari perintah Nabi untuk membakarnya
maka menurut Imam Nawawi adalah sebagai bentuk hukuman dan pelarangan keras
terhadap palaku dan yang lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.
Dari
hadits di atas juga bisa kita simpulkan bahwa maksud pelarangan Nabi karena
warna pakaian merah adalah ciri khas warna pakaian orang kafir. Dalam hadits di
atas Nabi mengatakan “Sesungguhnya
ini adalah pakaian orang-orang kafir. Jangan dikenakan”.
Terdapat
hadits lain yang nampaknya tidak sejalan dengan penjelasan di atas itulah hadits
dari al Barra’, beliau mengatakan, “Nabi adalah seorang yang berbadan tegap.
Ketika Nabi mengenakan pakaian berwarna merah maka aku tidak pernah melihat
seorang yang lebih tampan dibandingkan beliau”.(HR Bukhari dan
Muslim).
Jawaban
untuk permasalahan ini adalah dengan kita tegaskan bahwa yang terlarang adalah
kain yang berwarna merah polos tanpa campuran warna selainnya. Sehingga jika
kain berwarna merah tersebut bercampur dengan garis-garis yang tidak berwarna
merah maka diperbolehkan.
Dalam
Fathul
Bari, Ibnu
Hajar menyebutkan adanya tujuh pendapat ulama tentang hukum memakai kain
berwarna merah. Pendapat ketujuh, kain yang terlarang adalah berlaku khusus
untuk kain yang seluruhnya dicelup hanya dengan ‘ushfur.
Sedangkan kain yang mengandung warna yang selain merah semisal putih dan hitam
adalah tidak mengapa. Inilah makna yang tepat untuk hadits-hadits yang nampaknya
membolehkan kain berwarna merah karena tenunan yaman yang biasa Nabi kenakan itu
umumnya memiliki garis-garis berwarna merah dan selain merah.
Ibnul
Qoyyim mengatakan, “Ada ulama yang mengenakan kain berwarna merah polos dengan
anggapan bahwa itu mengikuti sunnah padahal itu sebuah kekeliruan karena kain
merah yang Nabi kenakan itu tenunan yaman sedangkan tenunan yaman itu tidak
berwarna merah polos.” (Fathul
Bari,
10/319)
Di
samping diplih oleh Ibnu Qayyim, pendapat di atas juga didukung oleh Ibnu
Utsaimin. Beliau mengatakan, “Kain berwarna merah yang Nabi pakai tidaklah
berwarna merah polos akan tetapi kain yang garis-garisnya berwarna merah.
Semisal istilah kain sorban merah padahal tidaklah seluruhnya berwarna merah
bahkan banyak warna putih bertebaran di sana. Namun disebut demikian karena
titik dan coraknya didominasi warna merah. Demikian pula sebutan kain tenun
berwarna merah maksudnya garis-garisnya berwarna merah. Adapun seorang laki-laki
memakai kain berwarna merah polos tanpa ada warna putihnya maka itu adalah
sesuatu yang dilarang oleh Nabi.” (Syarah
Riyadhus Shalihin, 7/288,
Darul Wathon)
Pendapat
di atas juga disepakati oleh Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Beliau
mengatakan, “Terdapat banyak hadits yang melarang pakaian merah untuk laki-laki.
Di antaranya adalah hadits yang diriwayarkan oleh Bukhari, ‘Sesungguhnya Nabi
melarang kain berwarna merah’. Lalu bagaimana dengan hadits yang menyebutkan
bahwa beliau memakai kain
berwarna merah?
Dalam
Zadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa kain merah yang Nabi kenakan itu
bukan merah polos tapi kain yang memiliki garis-garis berwarna merah dan hitam.
Sehingga kelirulah orang yang memiliki praduga bahwa itu adalah kain berwarna
merah polos dan tidak tercampur dengan warna selainnya. Karena kain yang
mayoritas garis-garisnya berwarna merah itu disebut kain merah.
Kami
dapatkan nukilan pendapat dari guru kami, Abdurrahman As Sa’di bahwa Nabi
mengenakan kain berwarna merah untuk menjelaskan bahwa itu
diperbolehkan.
Menurut
hemat kami penggabungan yang diajukan oleh Ibnul Qoyyim itu lebih bagus karena
larangan mengenakan kain berwarna merah polos itu keras lalu bagaimana mungkin
beliau mengenakannya dengan maksud menjelaskan bahwa itu adalah suatu yang
dibolehkan.” (Taisirul
‘Allam,
1/147)
Sedangkan
tentang hal ini, Syaikh Salim Al Hilali memberikan uraian sebagai berikut.
“Tentang memakai pakaian berwarna merah terdapat beberapa pendapat ulama’.
Yang
pertama
membolehkan secara mutlak. Inilah pendapat dari ‘Ali, Tholhah, Abdullah bin
Ja’far, Al Barra’ dan para shahabat yang lain. Sedangkan diantara tabiin adalah
Sa’id bin Al Musayyib, An Nakha’I, Asy sya’bi, Abul Qilabah dan Abu Wa’il.
Yang
kedua
melarang secara mutlak. Yang
ketiga, hukum
makruh berlaku untuk kain berwarna merah membara dan tidak untuk warna merah
yang reduh. Pendapat ini dinukil dari atho’, Thowus dan Mujahid. Pendapat
keempat, hukum
makruh berlaku untuk semua kain berwarna merah jika dipakai dengan maksud semata
berhias atau mencari populeritas namun diperbolehkan jika dipakai di rumah dan
untuk pakaian kerja. Pendapat ini dinukil dari ibnu Abbas. Yang
kelima,
diperbolehkan jika dicelup dengan warna merah saat berupa kain baru kemudian
ditenun dan terlarang jika dicelup setelah berupa tenunan. Inilah pendapat yang
dicenderungi oleh Al Khathabi. Yang
keenam,
larangan hanya berlaku untuk kain yang dicelup dengan menggunakan bahan ‘ushfur
karena itulah yang dilarang dalam hadits sedangkan bahan pencelup selainnya
tidaklah terlarang. Pendapat
ketujuh, yang
terlarang adalah warna merah membara bukan semua warna merah dan pakaian
tersebut digunakan sebagai pakaian luar karena demikian itu adalah gaya
berpakaian orang yang tidak tahu malu. Sedangkan pendapat
terakhir, yang
terlarang adalah jika kain tersebut seluruhnya dicelup dengan warna merah. Tapi
jika ada warna selainnya, semisal putih dan merah maka tidak mengapa.
Aku
(Syaikh Salim al Hilali) katakan, “Pendapat yang paling layak untuk diterima
adalah pendapat terakhir. Dengannya hadits-hadits tentang pakaian Nabi yang
berwarna merah bisa disinkronkan karena kain yang dikenakan Nabi itu tenunan
Yaman yang pada umumnya memiliki garis-garis merah dan selainnya…… Sedangkan
pendapat-pendapat yang lain itu kurang tepat. Pendapat pertama bisa dibantah
dengan penjelasan bahwa kain berwarna merah yang dimaksudkan itu tidak polos.
Pendapat kedua juga keliru karena jelas nabi memiki kain berwarna merah.
Sedangkan pendapat ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh adalah
pendapat-pendapat yang memberikan rincian tanpa dalil dan menghukumi dalil tanpa
dalil.” (Bahjatun
Nazhirin,
2/81-82)
Berdasarkan
uraian panjang lebar di atas jelaslah bahwa kain sorban merah yang biasa
dikenakan orang-orang saudi bukan termasuk ke dalam hadits larangan berpakaian
merah.
***
Penulis:
Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Adab Berpakaian 1
Pakaian
merupakan salah satu nikmat sangat besar yang Allah berikan kepada para
hambanya, Islam mengajarkan agar seorang muslim berpakain dengan pakaian islami
dengan tuntunan yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Berikut ini adalah
adab-adab berkenaan dengan berpakaian yang sepantasnya diketahui oleh seorang
muslim.
Mendahulukan
yang Kanan
Di
antara sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
mendahulukan yang kanan
ketika memakai pakaian dan semacamnya. Dalil pokok dalam masalah ini, dari
Aisyah Ummul Mukminin beliau mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam suka
mendahulukan yang kanan ketika bersuci, bersisir dan memakai sandal.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dalam
redaksi muslim dikatakan, “Rasulullah menyukai mendahulukan yang kanan dalam
segala urusan, ketika memakai sandal, bersisir dan bersuci.”
Mengomentari
hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini mengandung kaidah baku dalam
syariat, yaitu segala sesuatu yang mulia dan bernilai maka dianjurkan untuk
mendahulukan yang kanan pada saat itu semisal memakai baju, celana panjang,
sepatu, masuk ke dalam masjid, bersiwak, bercelak, memotong kuku, menggunting
kumis, menyisir rambut, mencabut bulu ketiak, menggundul kepala, mengucapkan
salam sebagai tanda selesai shalat, membasuh anggota wudhu, keluar dari WC,
makan dan minum, berjabat tangan, menyentuh hajar aswad dan lain-lain. Sedangkan
hal-hal yang berkebalikan dari hal yang diatas dianjurkan untuk menggunakan sisi
kiri semisal masuk WC, keluar dari masjid, membuang ingus, istinjak, mencopot
baju, celana panjang dan sepatu. Ini semua dikarenakan sisi kanan itu memiliki
kelebihan dan kemuliaan.” (Syarah
Muslim,
3/131)
Adab
Memakai Sandal
Yang
sesuai sunnah berkaitan dengan memakai sandal adalah memasukkan kaki kanan
terlebih dahulu baru kaki kiri. Ketika melepas kaki kiri dulu baru kaki kanan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika kalian memakai sandal, maka hendaklah dimulai yang kanan dan
bila dicopot maka hendaklah mulai yang kiri. Sehingga kaki kanan merupakan kaki
yang pertama kali diberi sandal dan kaki terakhir yang sandal dilepas darinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Larangan
Hanya Memakai Satu Sandal
Demikian
pula seorang muslim dimakruhkan hanya menggunakan satu buah sandal. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu
‘anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika
tali sandal kalian copot maka janganlah berjalan dengan satu sandal sehingga
memperbaiki sandal yang rusak.” (HR.
Muslim)
Demikian
pula dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda, “janganlah
kalian berjalan menggunakan satu sandal. Hendaknya kedua sandal tersebut dilepas
ataukah keduanya dipakai.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Perlu
diketahui bahwa dua hal di atas hukumnya adalah dianjurkan dan tidak wajib. Oleh
karena itu, orang yang mendapatkan masalah dengan alas kakinya karena tali
sandal copot maka hendaknya berhenti sejenak untuk memperbaiki sandal tersebut
untuk melepas semua sandal lalu melanjutkan perjalanan. Tidak sepantasnya bagi
seorang mukmin menyelisihi larangan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
meskipun hukumnya makruh dan tidak sampai derajat haram. Hendaknya kita berlatih
dan membiasakan diri untuk mengikuti petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lahir
dan bathin sehingga mendapatkan kemuliaan karena ittiba’ dengan sunnah Nabi
secara hakiki.
Sebenarnya,
makna eksplisit dari larangan memakai satu sandal adalah menunjukkan hukum haram
andai tidak terdapat pernyataan Imam Nawawi yang mengklaim bahwa memakai dua
sandal sekaligus itu disepakati sebagai perkara yang dianjurkan dan tidak wajib.
Dalam Riyadhus
Shalihin beliau
memberi judul untuk hadits-hadits di atas dengan hukum makruh saja. Maka
keabsahan nukilan ini perlu dikaji dengan lebih seksama jika ternyata tidak
benar maka makna eksplisit larangan dan berbagai penjelasan ulama tentang motif
larangan ini menunjukkan bahwasanya menggunakan satu alas kaki saja itu hukumnya
haram.
Perkataan
Para Ulama Tentang Sebab Pelarangan Tersebut
Mengenai
larangan berjalan dengan satu sandal, para ulama memberikan beragam keterangan
tentang motif Nabi dengan larangan tersebut. Imam Nawawi menyatakan bahwa para
ulama mengatakan sebab larangan tersebut adalah karena menyebabkan pemandangan
yang tidak pantas dilihat. Nampak cacat dan menyelisihi sikap wibawa. Di samping
itu, kaki yang bersandal jelas lebih tinggi daripada kaki yang lain. Hal ini
tentu menimbulkan kesulitan saat berjalan. Bahkan boleh jadi menyebabkan
terpeselet. (Syarah
Muslim,
14/62)
Sedangkan
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul
Baari,
10/309-310 mengatakan, “Al-Khithabi menyatakan bahwa hikmah larangan menggunakan
satu sandal adalah karena itu berfungsi menjaga kaki dari gangguan duri atau
semisalnya yang ada di tanah. Jika yang bersandal hanya salah satu kaki maka
orang tersebut harus ekstra hati-hati untuk menjaga kaki yang lain, satu hal
yang tidak perlu dilakukan untuk kaki yang bersandal. Kondisi ini menyebabkan
gaya berjalan orang ini tidak lagi lumrah dan tidak menutup kemungkinan dia bisa
terpeleset. Ada yang berpendapat hal itu dilarang karena tidak bersikap adil
terhadap anggota badan dan boleh jadi orang yang berjalan dengan satu sandal
dinilai oleh sebagian orang sebagai orang yang akalnya bermasalah. Sedangkan
Ibnul Arabi mengatakan, “Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut terlarang
karena itu merupakan gaya setan berjalan. Ada pula yang berpendapat karena sikap
tersebut merupakan sikap yang tidak wajar dan lumrah. Di sisi lain, Al-Baihaqi
berkomentar bahwa hukum makruh karena memakai satu sandal adalah disebabkan hal
tersebut merupakan pemicu popularitas. Banyak mata akan tertarik memandangi
orang yang berperilaku aneh seperti itu dan terdapat hadits yang melarang
pakaian yang menyebabkan popularitas. Karenanya segala sesuatu yang menyebabkan
popularitas sangat berhak untuk dijauhi.”
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu
‘anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya
setan berjalan menggunakan satu sandal.” (HR.
Thahawi dalam Musykil
Al-atsar,
Al-Albani mengatakan setelah menyebutkan sanadnya ini adalah sanad yang shahih,
seluruh perawinya adalah orang-orang yang tsiqah, perawi yang dipakai dalam
shahih Bukhari dan shahih Muslim selain ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi namun
beliau juga seorang yang kredibel.” (Silsilah
shahihah no.
348). Dengan hadits ini jelaslah bagi kita motif dari larangan Nabi untuk
berjalan dengan satu sandal karena itulah gaya berjalannya setan. Jika demikian,
maka kita tidak perlu memaksa-maksakan diri dan mencari-cari motif
pelarangan.
Termasuk
Sunnah Adalah Kadang-kadang Berjalan Tanpa Alas Kaki
Namun
perlu diketahui bahwa termasuk sunnah Nabi adalah berjalan tanpa alas kaki
kadang-kadang, dari Buraidah radhiyallahu
‘anhu, ada
seorang shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang
pergi menemui Fudhalah bin Ubaid yang tinggal di Mesir. Setelah tiba dia berkata
kepada Fudhalah, “Kedatanganku ini bukanlah dengan maksud berkunjung akan tetapi
aku mendengar demikian pula engkau sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Aku
berharap engkau memiliki ilmu tentangnya. Fudhalah bertanya, “Hadits apa yang
engkau maksudkan?” Orang tadi mengatakan, “Demikian dan demikian,” Orang
tersebut lalu bertanya, “Kenapa ku lihat rambutmu tidak tersisir rapi padahal
engkau adalah seorang penguasa.” Fudhalah mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah
melarang kami untuk terlalu
sering
bersisir.” “Lalu mengapa aku tidak melihatmu memakai sandal?” Tanya orang
tersebut. Fudhalah mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk kadang-kadang
berjalan tanpa alas kaki.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinilai shahih oleh
Al-Albani)
***
Penulis:
Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Langganan:
Postingan (Atom)